Jumat, 09 Januari 2009

Manula (Miskin), Siapa Peduli?

Sore, simpang empat Ngabean Yogya
Trffic light menyala hijau. Semua bergegas menginjak pedal gas. Apalagi saya yang ada di antrean belakang, cepat-cepat melaju berlomba dengan lampu bangjo yang sesaat lagi berganti merah. Tapi saat berusaha melaju itulah, bus di depan malah melambat. Tentu semua yang ada di belakangnya jadi ngerem mendadak. Semua makhluk yang punya sirine berlomba meraung karena hasrat untuk ngebut tak kesampaian.

Tepat menjelang zebra cross lampu menyala merah. Saya berhenti. Terlihat bus kota tadi mendahului becak yang berjalan tertatih-tatih di kayuh bapak tua. Rupanya becak itulah yang bikin bus melambat dan berefek domino kepada pengendara lain.

Bapak tua dan becaknya. Inikah yang bikin Bapak-bapak pengendali teritori kota gerah dengan keberadaan becak dan berusaha menghapusnya dari jalan-jalan utama? Kalau saya naik mobil Fortuner yang mahal, gagah dan sangat nyaman buat ngebut tentu saya pun gerah sama becak. Untunglah saya cuma naik supra fit dan sudah merasakan susahnya jadi orang miskin. Jadi bisa bersabar sedikit.

Siapapun tentu tak ingin jadi pengayuh becak (untuk eRsy| : becak adalah sepeda yang boncengannya di depan). Profesi itu jadi pilihan terakhir saat mencari rezeki dengan cara halal begitu sulit. Jadi kalau sudah tua masih bekerja mengayuh becak tentu sudah benar-benar kepepet. Tapi kalau gak kerja mau makan apa? Emang ada yang mau ngasih makan? Mimpi kaleeeeee...

Jadi buat para pembuat keputusan mbok bikin jaminan sosial buat para manula yang penghidupannya belum beruntung. Lha kalau buat orang kecil saja kikir jangan harap Tuan dan Nyonya bisa ngebut di jalan. "Cek...ecek...ecek..." ada pengamen. Kalau gak di kasih kegores tuh mobil bagus. "Priiittt...prittt... " cuma beli bakso setengah menit di pinggir jalan kok ya dimintai uang parkir. Mo malak ato ngatur parkir nih? "Sreettt... sreetttt" ada bocah beraksi ngelap body. Maunya sih membersihkan debu. Padahal... aduh maaaakkkk... catnya jadi barut-barut tauu'??!!!

Manula yang penuh keterbatasan dalam fisik maupun ekonomi, mereka masih punya tanggungan keluarga yang harus di kasih makan. Mereka bukan tontonan di tengah gemerlap kota. Kemiskinan bukan saja tak enak bagi penyandangnya. Tapi juga bisa merugikan orang lain. (Weleh-welehhh... Bang Napi bangetS)

0 komentar:

Posting Komentar