Rabu, 15 Juli 2009

Bisakah?

Satu per satu sahabat meninggalkan masa lajang. Mendapatkan pasangan terbaik dan melangkah berumah tangga. Yang terbaru : Mirza sama... Dan Mas Danang sama... Dulu saya biasa2 saja menerima undangan atau mendengar kabar bahagia itu. Datang, mengucapkan selamat dan makan. Tapi sekarang saat usia makin meninggi akhirnya merasa ketinggalan kereta juga saat ada teman yang munakahat.

Selama ini saya memang tak peduli dengan etape yang harus di lalui setiap manusia itu. Saya merasa tak siap untuk melangkah. Saya hanya siap buat jalan2, beli2 di toko, menghabiskan uang gajian dengan bersenang senang memanjakan diri sendiri. Itu sudah kebahagiaan terbesar.


Bibi2 mengatakan bahwa saya tak pedulian. Itu benar. Bukankah manusia seperti ikan di dalam akuarium yang bisa di lihat dari sudut manapun? Tapi akhir2 ini perassaan saya berubah. Saya jadi peduli.

Ini karena ada 'teguran'. Beberapa tetangga lelaki yang usianya bisa di bilang jauh di bawah saya berani menutuskan untuk menikah. Itu adalah teguran yang nyata buat saya. Kalo yang lebih muda saja berani mengapa saya yang tua ini masih saja takut. Tapi tekad mereka patut di acungi jempol. Berani mencoba bertanggung jawab pada hidupnya. Sementara saya selalu jadi anak ayam yang meringkuk di pojok ketiak induknya.

Orang yang menikah meski masih muda berarti sudah jadi orang tua. Punya wewenang sendiri mengatur hidup dirinya dan keluarganya sendiri. Sementara orang yang sudah berumur kalo belum menikah namanya tetap saja anak2. Saya sudah merasakan sendiri.

Meski sudah tua saya tak berhak ngatur rumah. Bapak dan ibulah yang punya wewenang ngatur. Saya sudah tak pantas lagi marah ato protes kalo ada hal yang tak di sukai di rumah. Tapi juga tak punya wewenang untuk mengatur. Jadi kalo ada hal yang tak di sukai di rumah saya cukup diam ato pergi.

Beda kan kalo sudah berumah tangga. Ia jadi kepala dan ratu rumah tangga. Adek saya si Asih yang sudah berumah tangga bebas mau ngapain saja karena ia sudah punya tanggung jawab sendiri pada suami. Bapak dan ibu tak pernah negor meski satu rumah. Karena orang tua tak punya wewenang lagi sama Asih. Sementara saya, kakaknya ini malah selalu kena tegor kalo pulang telat, malas makan, ato tak segera nyuci baju yang sudah di rendam.

Gondok deh jadinya, kok di perlakukan sepert anak2. Tapi kalo mo protes... gak bisa. Ntar di bilang berani ma orang tua. Duhhhh serba susah jadinya. Ngelayap ke warnet aja deh... lagi2 ngabisin uang gaji

0 komentar:

Posting Komentar